Ini Kata Para Peneliti tentang Kebijakan Merdeka Belajar

Jakarta, Kemendikbud --- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Pusat Penelitian Kebijakan (Puslitjak), Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) dan Perbukuan,  menyelenggarakan Seminar Hasil Penelitian Tahun 2020. Salah satu tema besar yang diteliti adalah mengenai kebijakan Merdeka Belajar. Para peneliti mengungkapkan hasil penelitian mereka mengenai Ujian Nasional (UN), Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), dan kinerja guru dalam mengimplementasikan kebijakan Merdeka Belajar di masa pandemi Covid-19.
 
Siswantari, peneliti yang mengangkat judul penelitian “Evaluasi Hasil Akreditasi Sekolah”, menjelaskan  bahwa hubungan perubahan antara peringkat akreditasi dengan hasil UN memperlihatkan gambaran yang konsisten, termasuk setelah diolah dengan score. Hasil UN pada sekolah dengan peringkat akreditasi A lebih tinggi dari sekolah dengan peringkat akreditasi B. Kemudian sekolah dengan peringkat B pun memiliki hasil UN yang lebih tinggi dari sekolah dengan peringkat akreditasi C.
 
Siswantari lalu menyimpulkan bahwa UN potensial untuk dijadikan variabel predikator akreditasi. Namun, karena tahun 2021 UN digantikan dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), maka menurutnya AKM pun potensial menjadi variabel predikator akreditasi.
 
Siswantari juga menambahkan pentingnya sosialisasi dan pemberian fasilitas untuk mengatasi permasalahan data pokok pendidikan (dapodik). “Saran lainnya menurut saya, butuh adanya sosialisasi, pemberian fasilitas dan pemberian pemahaman terhadap operator sekolah dalam menginput, menyinkronkan, meng-update, dan mengatasi berbagai permasalahan yang terkait Dapodik,” ungkap Siswantari pada Seminar Hasil Penelitian Tahun 2020 pekan lalu, di Jakarta.
 
Sementara itu peneliti Meni Handayani menyampaikan hasil penelitiannya yang berjudul “Kesiapan Sekolah Menghadapi Asesmen Kompetensi Minimal”. Dari hasil penelitiannya itu, sebanyak 50 persen guru mengatakan hanya sebagian kecil materi yang sesuai dengan soal AKM, terutama untuk mata pelajaran selain Bahasa Indonesia dan Matematika.
 
Meni juga menjelaskan terdapat persepsi yang cenderung berbeda antara guru dan siswa mengenai kesesuaian soal AKM dengan praktik pembelajaran di sekolah dan tingkat kesulitan soal. “Guru cenderung melihat soal AKM kurang sesuai dengan pembelajaran di sekolah, sedangkan siswa memandang sebaliknya,” ujar Meni yang merupakan peneliti dari Pusat Penelitian Kebijakan (Puslitjak) Kemendikbud.
 
Menurutnya, Kemendikbud harus memberikan sosialisasi terkait kebijakan AKM. Selain sosialisasi, Kemendikbud juga harus memberikan pelatihan kepada guru dalam melakukan pembelajaran dan penilaian yang selaras dengan tipe soal AKM.
 
Peneliti lain, Sabar Budi Rahardjo, menyampaikan paparan mengenai hasil penelitiannya dengan judul “Kinerja Guru dalam Mengimplementasikan Merdeka Belajar pada Masa Pandemi Covid-19 dan Pembiasaan Baru”. Sabar menjelaskan bahwa kinerja guru dalam pembelajaran dari rumah masa pandemi sudah berjalan dengan baik. Guru telah mempraktikkan empat kompetensi, yaitu profesional, pedagogik, sosial, dan kepribadian, walaupun belum maksimal.
 
“Hal ini dapat ditunjukkan dengan kegiatan guru dalam menyiapkan proses pembelajaran dengan baik. Guru juga telah melaksanakan proses pembelajaran melalui sistem daring dan luring,” tutur Sabar.
 
Ia merekomendasikan agar Kemendikbud dapat memberikan pelatihan untuk para guru dalam menggunakan perangkat daring. “Dalam pembelajaran dari rumah perlu ada pelatihan pada guru yang kurang terampil dalam menggunakan media sosial. Misalnya peningkatan kemampuan guru dalam menyiapkan materi ajar melalui power point dengan cara sederhana namun dipahami oleh siswa,” ujar Sabar.
 
Salah satu pembahas, Yaya Kardiawan, memberikan masukan dan saran bagi para peneliti agar hasilnya menjadi unsur kebijakan yang tepat. Pada kesempatan ini, Yaya memberikan apresiasi sekaligus ucapan selamat kepada para penyaji penelitian yang telah memaparkan hasil penelitiannya dengan sangat baik.
 
Yaya juga menekankan bahwa di setiap penelitian yang menawarkan rekomendasi, diharapkan dasarnya adalah fakta dan tidak hanya sebuah persepsi. “Saya menambahkan bahwa perlu adanya penjabaran mengenai fakta yang ada dalam rekomendasi, sehingga sebuah rekomendasi akan didukung oleh fakta, tidak hanya sebuah persepsi,” ujarnya. (Denty Anugrahmawati/Desliana Maulipaksi)