Menyimak Ragam Pengajaran Bahasa di Negara-negara Tetangga

Jakarta, 8 Desember 2020 --- Southeast Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO) Regional Center for Quality Improvement for Teachers and Education Personnel (QITEP) in Language (SEAQIL) menyelenggarakan seminar regional bertajuk “Language Policy and Language Education in Indonesia”, menjadi ajang bagi negara-negara di ASEAN untuk berbagi cara pengajaran bahasa di negaranya. Acara ini sekaligus menjadi momentum bagi Indonesia untuk belajar praktik baik kebahasaan dari negara tetangga.
 
Senior Education Officer Brunei Darussalam Teacher Academy, Hajah Siti Salawati binti Haji Abu Hanifah memaparkan Sistem Pendidikan Abad 21 (SPN21) yang menjadi suatu desain besar edukasi di Brunei Darussalam.
 
“SPN21 dirancang untuk menyediakan pengalaman belajar yang luas, seimbang, dan relevan agar masing-masing siswa terus berkembang. Untuk bahasa, kami makin menekankan Bahasa Inggris. Seluruh mata pelajaran di semua jenjang diajarkan dalam Bahasa Inggris, kecuali Pendidikan Agama, Pendidikan Jasmani, dan Bahasa Melayu,” jelas Siti dalam acara tersebut (8/12). 
 
Siti kemudian menyoroti persentase jumlah guru lokal yang mengajar dalam Bahasa Inggris di Brunei yang saat ini merupakan bagian mayoritas yaitu sebesar 81,7%. Sementara, jumlah guru ekspat hanya berkisar di 18,3%.
 
“Keadaan ini berbalik, dulu kami sangat ketergantungan guru ekspat. Sekarang kami semakin bergegas unutk memperbanyak guru yang mengajar dalam Bahasa Inggris,” tutur Siti. Ia juga menegaskan bahwa Brunei mengedepankan sistem pendidikan yang mengajarkan Bahasa Inggris dan matematika bermutu tinggi. Siti mengungkapkan bahwa semua siswa sangat melek angka dan huruf (highly numerate and literate) dalam Bahasa Inggris.
 
Kepala Divisi Bahasa Inggris dari Institute of Foreign Languages, The Royal University of Phnom Penh Kamboja, Tith Mab menyampaikan bahwa sejak 1989, Bahasa Inggris dan Perancis konsisten diajarkan dalam sistem pendidikan nasional selain Bahasa Khmer yang merupakan bahasa resmi nasional.
 
Kebijakan bahasa berubah seiring perubahan politik yang terjadi di Kamboja. Tith menjelaskan, Bahasa Perancis masih dipakai banyak generasi tua di negaranya. Bahasa tersebut juga merupakan bahasa yang digunakan oleh beberapa sekolah dan kampus. Selain itu, Kamboja juga punya beberapa koran dan stasiun TV bahasa Perancis. “Kami adalah salah satu anggota La Francophonie. Tapi, anak muda Kamboja lebih menguasai Bahasa Inggris ketimbang Bahasa Perancis, apalagi sejak 1993,” terangTith.
 
Tith memaparkan, bahwa di Kamboja, umumnya Bahasa Inggris makin populer menggantikan Bahasa Perancis sebagai bahasa asing utama. Bahasa Inggris juga lebih dipakai dalam konteks hubungan internasional. Salah satu bahasa asing yang juga mulai tenar di kalangan anak muda adalah Bahasa Cina Mandarin.  
 
Di Kamboja, menurut Tith, Bahasa Inggris diajarkan dua jam per minggu pada jenjang sekolah dasar, mulai dari kelas empat. “Jumlah ini meningkat, di jenjang menengah jadi empat jam per minggu, tapi Bahasa Perancis belum diajarkan. Nah, di jenjang menengah (kelas 7 – 12), siswa diberikan kebebasan memilih, apakah mau belajar Bahasa Inggris atau Bahasa Perancis,” tambah Tith.
 
Pendeknya, di Kamboja proporsi pengajaran bahasa adalah Khmer sebagai bahasa resmi nasional sebanyak 60% dan bahasa asing (Inggris/Perancis) sebanyak 40%. Bahasa Inggris juga diajarkan pada mayoritas kampus di Kamboja selama empat hingga enam jam per minggu pada 2-3 tahun pertama dari empat tahun program Bachelor of Arts (setara Sarjana Strata 1 di Indonesia).
 
Sementara itu, Rektor Institut Pendidikan Guru Kementerian Pendidikan Malaysia, Rusmini binti Ku Ahmad menekankan bahwa Malaysia memberlakukan empat kebijakan inti yang cukup ketat untuk mencapai standar pendidikan bahasa yang ingin dicapai.
 
“Pertama, para siswa wajib lulus Ujian Bahasa Melayu pada Malaysian Certificate of Education. Kedua, kami mewajibkan Pendidikan dan Pelatihan Calon Guru, Pendidikan dan Pelatihan Guru yang kontinu, dan Penguatan Pendidikan Bahasa Inggris,” jelas Rusmini.
 
Rusmini mengatakan, di Malaysia, lulus ujian Bahasa Melayu dan Bahasa Inggris MCE adalah syarat pendaftaran kuliah. Para calon guru juga wajib meraih skor minimum Band C1 pada Common The Common European Framework of Reference for Languages (CEFR), suatu standar internasional yang menilai kemampuan berbahasa, di mana skor C1 setara skor IELTS 6,5 – 7,0, yaitu kemampuan tinggi tingkat dasar. 
 
“Tapi, walaupun para calon guru ini pun sudah berhasil meraih C1, nantinya mereka juga masih tetap dilatih Bahasa Inggris untuk menjaga mutu,” kata Rusmini.
 
Berbeda dengan Malaysia, Direktur Jenderal Departemen Bahasa-bahasa Kebangsaan Myanmar, Kementerian Pendidikan Myanmar, Zaw Myint menyatakan bahwa Myanmar menekankan aspek penggunaan bahasa daerah dalam ruang kelas saat belajar. Selain itu, wajib belajar di Myanmar sedikit berbeda dari Indonesia yaitu 13 tahun, termasuk jenjang Taman Kanak-kanak atau Kindergarten.
 
“Pemerintah Myanmar berkomitmen pada sistem pendidikan yang terdesentralisasi dan inklusif dan ini tercatat pada Undang-undang Pendidikan Nasional dan amandemen Undang-undang Hak Etnis, di mana penggunaan dan pengembangan bahasa daerah diperkuat. Kedua undang-undang ini mengembalikan pengajaran bahasa-bahasa etnis, budaya, dan literasi di sekolah dalam bentuk yang terdesentralisasi dan bermuatan lokal,” kata Zaw.
 
“Di Myanmar, bahasa daerah diajarkan di sekolah dan bahan ajar dikembangkan oleh pemerintah daerah. Saat ini ada 54 bahasa yang diajarkan oleh 28.783 guru kepada 766.731 anak-anak etnis di 12.248 sekolah seluruh negeri. Pada 2017, kami telah merekrut sebanyak 5161 asisten guru lokal dan tahun lalu, kami telah melantik 6935 asisten guru dan 175 guru bahasa,” tutup Zaw. (Denty A./Aline R.)